- February 15, 2009 – 3:14 pm
- Posted in School
area
Teve dan pengaruh maraknya kekerasan
BELUM Belum tuntas pengungkapan aksi kekerasan Geng Nero (Neko-neko
Dikeroyok) yang beranggotakan empat siswi SMA, masyarakat Kecamatan Juwana,
Pati kembali tercengang dengan beredarnya rekaman video kekerasan yang lebih
sadis. Dalam rekaman video yang disebarluaskan dengan handphone (hp) itu,
tampak beberapa remaja putri sedang memukul dan menendang seorang remaja putri
dengan beringas. (Suara Merdeka, 16/06/- 2008). Mengapa mereka melakukan
hal itu? Tanpa adakah rasa kasihan dalam diri mereka atau tanpa terketukkah
hati nurani mereka? Kekerasan yang dilakukan oleh para remaja putri itu membuat
kita prihatin. Bayangkan saja, mereka masih dalam usia sekolah dan terutama
lagi masih dalam pengawasan orang tua, tapi mengapa mereka sudah dirasuki
syahwat kekerasan. Di sini, bukan berarti orang tua mereka yang patut kita
persalahkan. Sebab, berdasarkan penuturan orang tua mereka masingmasing,
pengawasan dan bimbingan di lingkungan keluarga sudah dilakukan dengan normal.
Dan di hadapan orang tua, mereka pun berlaku manis dan nurut layaknya
remaja putri pada umumnya.
Kalau kita lihat, adegan kekerasan yang mereka lakukan, tidak beda
dengan adegan-adegan kekerasan yang dipertontonkan secara vulgar di layar
televisi. Kita mesti prihatin karena sinetron- sinetron di televisi saat ini
dibanjiri dengan kisah-kisah remaja yang dibumbui dengan kekerasan. Entah
mereka bertengkar dengan teman sekolahnya sendiri atau dengan teman-teman lain
yang beda geng.
Di sinilah peran televisi yang menohok perangai kaum remaja.
Memang pada awalnya, pihak stasiun televisi menayangkan sinetron tersebut hanya
sebatas hiburan bagi remaja. Namun, para pembuat sinetron tersebut tidak sadar
bahwa yang mereka tayangkan dapat mendorong moral remaja ke arus degradasi.
Secara mentah- mentah adegan kekerasan yang ada di televisi itu ditiru dan
diparaktikkan dalam pergaulannya.
Industri pertelevisian kita memang mengenaskan. Di era kapitalisme
dan globalisasi saat ini, mainstream industri media televisi di Indonesia
cenderung mengejar rating, bukan kualitas tayangan yang mengedukasi masyarakat.
Beda halnya dengan yang terjadi di negara-negara maju. Para pemilik stasiun
televisi sudah sadar untuk memproduksi tayangan-tayangan yang bermutu dan
bernilai edukasi bagi publik. Tak ada tayangan-tayangan berbau kekerasan.
Kalaupun ada, tayangan tersebut jumlahnya sangat sedikit dan ditayangkan pada
tengah malam. Meskipun mainstream industri media televisi di negara-negara maju
juga mengejar rating, tapi mereka tetap memikirkan dampak buruk dari tayangan
yang diproduksinya bagi masyarakat. Namun, paradigma tersebut tidak berlaku di
Indonesia.
Di Indonesia, rating menjadi alasan satu-satunya untuk memupuk
modal, daripada susah-susah memproduksi acara baru yang lebih bermutu.
Sehingga, di dalam industri media di Indonesia, ada semacam korelasi sinergis
negatif antara pemirsa dan pekerja media yang berperan menyebabkan semakin
berkembangnya kerajaan rating televisi ini.
Apabila kita menilik hukum positif di Indonesia, segala tayangan
yang berbau kekerasan bisa dituntut melanggar Pasal 5 Undang-Undang Pers Nomor
40 Tahun 1999 dan Pasal 282 KUHP tentang Kejahatan Kesusilaan. Tak
tanggung-tanggung, pelakunya dapat diancam pidana penjara dan denda yang
jumlahnya ratusan juta rupiah. Sebagai pelaku media, tentu saja mereka mengerti
betul aturan ini. Namun sayang, di negara kita (yang konon sudah teracuni virus
kapitalisme), modal lebih berbicara ketimbang moral.
Dengan alibi kebutuhan akan hiburan dan selera pemirsa, pemilik
stasiun televisi mengenyampingkan efek negatif yang akan meracuni generasi
penerus bangsa menjadi bangsa yang terdekadensi. Perlahan-lahan moral generasi
penerus menjadi tergerus arus negatif pengaruh tayangan televisi sehingga
akhirnya terdegradasi. Apabila hal ini terus terjadi, pembangunan di negeri ini
di masa mendatang akan semakin tersendat bahkan negeri ini akan semakin
terpuruk berkat sumber daya manusia (SDM) yang lemah.
Kondisi karut-marut pertelevisian di Indonesia harus segera
dibenahi. Masyarakat mesti diberi ruang mengkritisi tayangan-tayangan yang ada
di televisi sehingga tidak lagi hanya menerima secara sukarela tayangan-tayangan
yang disodorkan oleh pengelola televisi dan masyarakat tidak lagi dijadikan
sebagai bagian dari proses banalisasi.
Di samping itu, sangat dibutuhkan peran dari pemerintah yang
sedang berkuasa saat ini untuk membangun SDM yang bermutu. Hal ini bisa dimulai
dengan pembangunan moral masing- masing individu remaja. Sehingga, diharapkan
nantinya dengan kualitas moral yang baik, santun, dan tidak memiliki tradisi
kekerasan, para remaja dapat memperjuangkan dan membawa bangsa dan negara ini
menjadi lebih baik. Hal ini memang membutuhkan proses yang panjang dan tidak
mudah.
Oleh karena itu, mulai dari saat ini, remaja harus membiasakan
diri dengan perangai yang baik dan tidak menghamba pada egoisme diri ataupun
kelompok. Sehingga diharapkan masing-masing individu remaja tidak lagi
berpandangan bahwa individu atau kelompoknya adalah yang paling benar serta
pada akhirnya individu dan kelompok lain yang tidak sesuai dengan keinginannya
atau bahkan tidak menurut dengannya, tidak dimusuhi atau bahkan disingkirkan dengan
cara kekerasan.
Selain itu, perlu dibangun sinergi positif antara masyarakat
sebagai konsumen dan media-holder dengan pemerintah sebagai mediator.
Masyarakat khususnya remaja perlu diajari bagaimana menilai dan menyeleksi
tayangan televisi dengan rating kualitas, bukannya terbawa arus degradasi
moral. Sehingga tayangan-tayangan televisi yang dihadirkan ke publik, lebih
mengarah ke pendidikan. Di sisi lain, diperlukan regulasi yang tegas dari
pemerintah dalam menindak berbagai jenis pelanggaran agar pers jera, tetapi
tidak sampai membekukan kreativitas dan kebebasan pers sendiri.
Sebetulnya, kesadaran dari tiap individu masyarakat khususnya
remaja lah yang paling penting. Sebagai konsumen dari pengelola stasiun
televisi, kita dituntut selektif dan pintar dalam memilih tayangan. Namun,
pihak pengelola televisi pun hendaknya jangan memancing masyarakat dengan
melepas tayangan yang negatif. Api tak akan menjadi besar jika tidak ada yang
membesarkannya. Begitu pula opini publik yang tidak akan menjadi besar jika
tidak ada yang menyulutnya.
Selain itu, pembinaan terhadap pengelola televisi agar memproduksi
tayangan yang berkualitas, bermutu, jauh dari adegan kekerasan, serta
memberikan pendidikan dan pencerahan terhadap masyarakat terutama para remaja,
mutlak dilakukan. Sehingga, tidak mempengaruhi para remaja dan pelajar untuk
melakukan aksi kekerasan atau perbuatan lain yang menyimpang dari norma-norma
adat dan agama.
Kita semua sepakat bahwa tidak boleh ada pembatasan terhadap
kreasi seni masyarakat. Sebab, kreasi seni dapat menjadi alat penyampaian
gagasan dan nilai-nilai penting yang positif, di samping memberikan pendidikan
dan pencerahan bagi publik. Namun, kita harus menolak dengan tegas kreasi seni
yang dilakukan dengan aksi vulgar yang terutama tidak mendidik remaja dan
pelajar, dengan dalil La pour Art (seni untuk seni). hf Hadziq Jauhary
Koordinator Lembaga Pers dan Jurnalistik IPNU Kota Semarang, Sivitas Akademika
FE Undip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar