CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM (CDM) SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDANAAN
A. Pengantar
Selama sepuluh tahun
terakhir, laju deforestasi diperkirakan mencapai 1,6 juta ha dan luas
lahan/hutan rusak yang perlu direhabilitasi meliputi lebih dari 30 juta ha(1). Kurang memadainya kondisi keuangan negara saat ini, memerlukan
penggalangan sumber pendanaan alternatif guna mendukung pembangunan kehutanan
dan perkebunan, dimana rehabilitasi dan konservasi merupakan program prioritas.
Clean Development Mechanism (CDM) adalah salah satu sumber pendanaan
luar negeri yang dapat diarahkan untuk mendukung program diatas.
B. Apa itu CDM ?
CDM adalah mekanisme
dibawah Kyoto Protocol/UNFCCC(2), yang dimaksudkan untuk :
(a) membantu negara maju/industri memenuhi sebagian kewajibannya menurunkan
emisi GHGs; (b) membantu negara berkembang dalam upaya menuju pembangunan
berkelanjutan dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan
Iklim (UNFCCC). Beberapa tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC)
ditanda-tangani pada tahun 1992, upaya nyata pengurangan emisi gas rumah kaca
(GHGs)(3), sebagai akibat aktifitas manusia
belum dapat ditunjukkan. Oleh karena itu pada Conference of the Parties
(COP)-3 tahun 1997 di Kyoto dicetuskanlah suatu protokol yang menawarkan flexibility
mecanism, yang memungkinkan negara-negara industri memenuhi kewajiban
pengurangan emisi GHGs-nya melalui kerjasama dengan negara lain baik berupa
investasi dalam emission reduction project maupun carbon trading.
Dibawah Kyoto Protocol, negara-negara industri diharuskan menurunkan emisi GHGs
minimal 5% dari tingkat emisi tahun 1990, selama tahun 2008-2012. CDM adalah
satu-satunya mekanisme dibawah Kyoto Protocol, yang menawarkan win-win
solution antara negara maju dengan negara berkembang dalam rangka
pengurangan emisi gas rumah kaca (GHGs), dimana negara maju menanamkan modalnya
di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan
emisi GHGs, dengan imbalan CER (Certified Emission Reductions)(4).
C. Apa manfaat CDM bagi
Indonesia
CDM merupakan peluang
memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-program prioritas,
penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Di sektor Kehutanan,
CDM dapat diarahkan untuk mendukung(5):
- Pembangunan hutan tanaman pada lahan hutan yang rusak,
- Rehabilitasi areal bekas kebakaran,
- Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut,
- Agroforestry,
- Penerapan RIL (Reduced Impact Logging),
- Peningkatan permudaan alam,
- Perlindungan terhadap forest reserve yang rawan perambahan,
- Perlindungan terhadap hutan yang rawan kebakaran dan perambahan.
Adapun manfaat tidak langsung yang
dapat dipetik Indonesia
dapat berupa Technology transper, capacity building,
peningkatan kualitas lingkungan, serta peningkatan daya saing.
D. Apakah kemungkinan
kerugiannya
Dari sisi kepentingan
nasional, CDM tidak menguntungkan apabila negara industri menggunakan dana ODA
(Official Development Assistane). Sesuai dengan Agenda 21 UNCED
(Komisi Ekonomi dan Pembangunan PBB), sumber dana kemitraan global menuju 'sustainable
development' adalah diluar ODA/Official Development Assistance (new
& additional terhadap ODA funding). Tetapi dalam kenyataannya
jumlah pemberian dana ODA semakin menurun sejak awal tahun 1990-an, yang
kemungkinan dialihkan untuk membiayai komitmen lainnya, misal ke Global
Environment Facility (GEF) untuk membiayai komitmen dibawah CCC (Konvensi
Perubahan Iklim), CBD (Konvensi Keanekaragaman Hayati), CCD (Konvensi
Penanggulangan Desertifikasi). Pengalihan dan ODA ke GEF untuk membiayai
komitmen negara industri dibawah konvensi-konvensi diatas sebenarnya sudah
menyalahi komitmen yang telah dibuat negara-negara industri sebelumnya yang
dipertegas pada UNCED tahun 1992 tentang alokasi 0,7% dari GNP-nya untuk 'ODA
funding'. Sedangkan penggunaan 'ODA funding'
untuk membiayai CDM oleh negara maju merupakan pengalihan beban yang seharusnya
tidak dipikul oleh negara berkembang.
E. Apakah Indonesia wajib
mengikuti CDM
CDM adalah peluang
investasi modal asing, jadi tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti. Kewajiban
Indonesia
dalam hal ini bukan dalam konteks CDM tetapi kewajiban sebagai peratifikasi
UNFCCC(6) : berkewajiban memberikan laporan
nasional secara periodik(7) tentang hasil
inventarisasi gas rumah kaca (sektor energi dan non-energi), serta upaya yang
telah dilakukan dalam rangka menekan dampak negatif perubahan iklim. Sedangkan
sebagai negara non-annex I (negara berkembang), Indonesia belum diwajibkan untuk
menurunkan emisi gas rumah kacanya, dan berhak untuk mendapatkan bantuan dana
(misal melalui GEF dll) untuk capacity building dan technology
transfer dalam rangka menekan dampak negatif perubahan iklim.
F. Apa persyaratan CDM
- Atas dasar suka rela (antar Pemerintah, antar swasta, dan antara Pemerintah dengan swasta).
- Disetujui oleh Pemerintah masing-masing.
- Memenuhi kriteria additionality, real, measurable, long-term benefit, dengan penjelasan seperti berikut : Pengertian additional dapat diterangkan dengan membandingkan terhadap baseline (keadaan tanpa proyek CDM). Additionality dapat ditinjau dari aspek pengurangan emisi GHGs(8), investasi(9), sumber dana(10), teknologi(11), dan regulasi(12). Proyek CDM dapat diberikan CER bila pengurangan emisi : (a) real (emisi GHGs proyek CDM < baseline), (b) measurable (tingkat emisi GHGs proyek CDM dan baseline dapat ditentukan dengan tingkat akurasi tertentu). Long-term benefit (pengurangan emisi GHGs berlangsung terus menerus sepanjang jangka waktu proyek, dan memberikan kontribusi terhadap sustainable development di negara berkembang).
G. Bagaimana mekanisme
pendanaan CDM ?
- Bilateral : antar Pemerintah, antar swasta (dengan persetujuan Pemerintah), dan antara Pemerintah dengan swasta.
- Multilateral : pool dana dari negara industri (Pemerintah atau swasta) pada 'Lembaga Independen'(13) dan lembaga ini menyalurkan dana untuk proyek CDM.
- Unilateral : host country melaksanakan proyek pengurangan emisi GHGs dengan biaya sendiri, yang dapat dipasarkan melalui pasa bebas(14).
H. Penutup
CDM merupakan peluang
investasi, dan sektor kehutanan Indonesia
memiliki potensi yang besar untuk ikut serta dalam CDM. Namun perlu diingat
bahwa hukum Kyoto Protocol masih belum mengikat negara industri untuk
melaksanakan komitmennya dibawah protokol tersebut, karena jumlah negara yang
meratifikasi belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Masalah ini masih
perlu dibahas lebih lanjut dalam pertemuan negara para pihak Konvensi Perubahan
Iklim (Parties to the UNFCCC) pada pertemuan di Den Haag bulan
Nopember 2000 (COP-6/Six Conference of the Parties). Demikian juga
masalah metodologi, aturan, dan prosedur CDM. Dan untuk sektor kehutanan,
sampai saat ini masih menjadi perdebatan tentang masuk/tidaknya sink
dalam CDM. Dalam menyongsong era carbon trading melalui CDM,
koordinasi antar pihak terkait sangat diperlukan, misal antara Dephutbun dengan
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, para pakar, instansi dan departemen
terkait lainnya. Hal ini diperlukan baik dalam rangka penyiapan posisi Indonesia
pada pertemuan-pertemuan negara para pihak (Conference of the Parties)
mendatang; penyiapan institusi CDm di tingkat nasional(15); dan untuk keperluan sharing data dan informasi.
Dan seiring dengan berlakunya desentralisasi, untuk keperluan implementasinya
diperlukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan stakeholders lain
di daerah.
(1)Sumber
: Dephutbun (1999).
(2)United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Perubahan Iklim).
(3)Jenis GHGs yang dikontrol oleh Kyoto Protocol : CO2, CH4, N2O.HFCs, PFCs, SF6.
(4)Manfaat bagi negara maju : memenuhi sebagian komitmennya untuk menurunkan GHGs dengan biaya jauh lebih murah bila dilakukan di negara sendiri. Negara berkembang (pada periode komitmen I : 2008-2012) belum diwajibkan menurunkan emisi GHGs.
(5)Melalui carbon sequestration project.
(6)CDM adalah mekanisme yang diatur dalam Kyoto Protocol (protocol to the UNFCCC).
(7)Untuk non-Annex I tidak ditentukan periodisitasnya dan untuk penyusunannya berhak memperoleh bantuan dari Annex I (Indonesia baru melaporkan kali, 1999).
(8)Additional bila emisi GHGs setelah ada proyek CDM lebih kecil dari sebelum ada proyek CDM.
(9)Additional bila investasi di lokasi proyek tidak terjadi tanpa proyek CDM.
(10)Additional bila sumber dana bukan ODA.
(11)Additional bila proyek CDA membawa teknologi baru/peningkatan teknologi yang ada.
(12)Additional bila proyek CDM dilakukan pada daerah/negara dimana penegakan hukum/peraturan tentang lingkungan tidak efektif.
(13)Baru akan diputuskan paling cepat pada COP-6, sedangkan CDM sudah dapat dimulai tahun 2000.
(14)Masih dalam perdebatan dapat/tidaknya negara berkembang menggunakan mekanisme tersebut.
(15)Karena step-step CDM (mulai dari design proyek sampai dengan sertifikasi) memerlukan keterlibatan berbagai institusi.
(2)United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Perubahan Iklim).
(3)Jenis GHGs yang dikontrol oleh Kyoto Protocol : CO2, CH4, N2O.HFCs, PFCs, SF6.
(4)Manfaat bagi negara maju : memenuhi sebagian komitmennya untuk menurunkan GHGs dengan biaya jauh lebih murah bila dilakukan di negara sendiri. Negara berkembang (pada periode komitmen I : 2008-2012) belum diwajibkan menurunkan emisi GHGs.
(5)Melalui carbon sequestration project.
(6)CDM adalah mekanisme yang diatur dalam Kyoto Protocol (protocol to the UNFCCC).
(7)Untuk non-Annex I tidak ditentukan periodisitasnya dan untuk penyusunannya berhak memperoleh bantuan dari Annex I (Indonesia baru melaporkan kali, 1999).
(8)Additional bila emisi GHGs setelah ada proyek CDM lebih kecil dari sebelum ada proyek CDM.
(9)Additional bila investasi di lokasi proyek tidak terjadi tanpa proyek CDM.
(10)Additional bila sumber dana bukan ODA.
(11)Additional bila proyek CDA membawa teknologi baru/peningkatan teknologi yang ada.
(12)Additional bila proyek CDM dilakukan pada daerah/negara dimana penegakan hukum/peraturan tentang lingkungan tidak efektif.
(13)Baru akan diputuskan paling cepat pada COP-6, sedangkan CDM sudah dapat dimulai tahun 2000.
(14)Masih dalam perdebatan dapat/tidaknya negara berkembang menggunakan mekanisme tersebut.
(15)Karena step-step CDM (mulai dari design proyek sampai dengan sertifikasi) memerlukan keterlibatan berbagai institusi.

Untuk informasi
lebih lanjut hubungi :
Bidang Kajian Kebijakan Kehutanan dan Perkebunan
|
|
Dr. Silver Hutabarat
Telp. 021-5730319 e-mail : silver@dephut.cbn.net.id |
Dr. Nur Masripatin
Telp. 021-5720216 e-mail : nur@dephut.cbn.net.id |
Sumber :
Pusat Rencana, Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan
Departemen Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Blok VII Lt.5
Jl. Gatot Subroto, Jakarta
Pusat Rencana, Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan
Departemen Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Blok VII Lt.5
Jl. Gatot Subroto, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar